Sabtu, 29 Oktober 2011
PEMBANGUNAN JEMBATAN SELAT SUNDA
Jakarta (ANTARA News) - Pembangunan Jembatan Selat Sunda diperkirakan akan menghabiskan waktu selama 10 tahun.
"Normalnya dibutuhkan waktu sekitar 10 tahun untuk pembangunan Jembatan Selat Sunda," kata perencana pembangunan Jembatan Selat Sunda, Wiratman Wangsadinata di Jakarta, Rabu.
Wuratman Wangsadinata dianugerahi gelar Perekayasa Utama Kehormatan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) atas jasa-jasanya dalam bidang konstruksi.
Pada sidang terbuka Majelis Perekayasa, Wiratman memaparkan pradesain Jembatan Selat Sunda sebagai bagian dari prasudi kelayakan yang telah diselesaikan oleh Wiratman dan Associates atas penugasan dari PT Bangungraha Sejahtera Mulia-Artha Graha Network dan secara resmi telah diserahkan oleh Pemerintah Daerah Banten dan Pemerintah Daerah Lampung pada Pemerintah Pusat pada 13 Agustus 2009.
Total biaya pembangunan dengan menggunakan standar harga pada 2009 diperkirakan mencapai sembilan miliar dolar AS.
Biaya tersebut, dikatakan Wiratman belum memperhitungkan eskalasi harga, bunga bank serta tidak termasuk biaya untuk pengembangan wilayah Selat Sunda.
Rencana pembangunan jembatan Selat Sunda sepanjang sekitar 29 km akan terhubung dengan jalan tol Jakarta-Merak serta rencana jalan tol Cilegon-Ciwandan sepanjang 14 km dan rencana jalan tol Bakauheni-Bandar Lampung-Metro sepanjang sekitar 80 km.
Konsep Jembatan Selat Sunda terdiri atas dua jenis sistem yaitu jembatan gantung ultrapanjang dari baja untuk melangkahi palung-palung lebar dan Viaduct beton pracetak balanced cantilever untuk lintasan selebihnya.
Wiratman menjelaskan, jembatan viaduct beton dipilih karena bahan dasarnya dapat diproduksi di dalam negeri seperti agregat, semen, baja tulangan. Sedangkan kontruksinya tidak memerlukan teknologi yang tinggi serta akan menyerap tenaga kera lokal dalam jumlah yang sangat besar sehingga sangat berdampak terhadap perkembangan ekonomi lokal maupun regional.
Jembatan Selat Sunda direncanakan memiliki ruang bebas vertikal 85 meter di atas permukaan laut tertinggi agar lebih tinggi dari tinggi udara terbesar serta memperhitungkan efek kenaikan elevasi air laut akibat pemanasan global.
Sementara bebas horizontal jembatan gantung Selat Sunda adalah 2.100 m sehingga memenuhi persyaratan lalu lintas kapal bebas satu arah.
Desain struktur atas jembatan mengacu pada desain jembatan Selat Messina yang memiliki bentang 3.300 m, sedangkan desain stuktur bawahnya mengacu pada desain jembatan Akashi Kaikyo di Jepang yang memiliki bentang 1.991 m.
Direncanakan juga jembatan Selat Sunda memiliki lebar total 60 m terdiri atas tiga lajur lalu lintas masing-masing arah selebar 3x3,75 m, dua lintasan kereta api selebar 10 m, lajur pemeliharaan masing-masing selebar 5,05 m.
Analisis beban angin yang harus diwaspadai adalah gejala flutter (aero elastic instability) yang terjadi apabila ragam getar vertikal berimpit dengan ragam rotasional sehingga saling membesar.
"Contoh gejala flutter adalah keruntuhan jembatan Tacoma Narrows (Amerika Serikat, red) oleh angin dengan kecepatan hanya 60 km/jam pada 1940. Kita belajar banyak dari peristiwa itu agar tidak terulang lagi," katanya.
Jembatan Selat Sunda yang mempunyai jenis dek yang sama dengan Jembatan Selat Messina tetapi dengan bentang yang lebih pendek paling tidak akan mempunyai kecepatan flutter yang sama yaitu 324 km/jam.
"Kecepatan angin seperti ini belum pernah dan tidak pernah terjadi di Selat Sunda, berarti jembatan Selat Sunda dapat dianggap bebas flutter," tambahnya.
Sementara analisis terhadap gempa dan pengaruh letusan Gunung Anak Krakatau karena jaraknya ke jembatan yang besar hampir 50 km, pengaruh gempa vulkanik tidak signifikan.
Sedangkan tsunami yang mungkin terjadi tidak membahayakan jembatan karena ketinggian gelombang tidak lebih dari tinggi ruang bebas vertikal yaitu 85 m di atas permukaan laut tertinggi.
"Dari hasil pra-desain jembatan Selat Sunda, terlihat konfigurasi jembatan dan dimensi penampang yang dipilih sudah cukup baik, hal itu dibuktikan dengan performa jembatan yang memadai akibat beban seperti beban mati jembatan, beban rel kereta, beban lalu lintas menunjukkan respon yang baik terhadap efek angin maupun gempa," kata Wiratman.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar